214 Kilometers to Dreams

Oleh Anindya Fahira Dwitami Hartaman

KadoegaHello, Fellas!

Let me introduce myself. My name is Anindya Fahira Dwitami Hartaman. Most people call me Anin!

Aku adalah tipe anak yang sangat suka mengeksplorasi berbagai hal menarik—termasuk dalam berbicara bahasa Inggris. Izinkan aku bercerita sedikit tentang diriku!

Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku adalah panutan hidupku. He’s so smart and inspiring.

Ia menjadi sumber semangatku dalam banyak hal, mulai dari belajar hingga keorganisasian. He’s someone I truly look up to. Ia pula yang memicuku untuk aktif selama masa sekolah menengah.

Selain pengaruh dari kakakku, aku memang memiliki minat besar terhadap seni berbicara. Aku suka berdiskusi dengan banyak orang. Jika diberi kesempatan, aku tidak ragu untuk menyuarakan pendapat—baik dalam bentuk kritik maupun masukan yang membangun.

Karena itu, menurutku, berorganisasi adalah jalan yang tepat. Aku tidak pernah menyesal terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi di sekolah. Aku selalu berpikir, “If not you, then who? If not now, then when?”

Selama di SMPN 2 Garut, aku aktif di OSIS dan Paskibra. Di OSIS, aku dipercaya menjadi Sekretaris Umum OSIS Angkatan 66. Banyak skill baru yang kudapatkan, terutama dalam menyusun dan menyukseskan berbagai acara.

Sebagai anggota Paskibra, aku juga aktif mengikuti berbagai lomba. Tim kami pernah meraih juara tingkat Provinsi Jawa Barat. Selain itu, aku juga beberapa kali ditunjuk sebagai petugas pengibar bendera pada upacara Senin.

Pengalaman organisasi memberiku banyak pelajaran hidup. Aku belajar untuk lebih disiplin, tangguh, dan sigap. Di situ juga aku merasakan kuatnya rasa kekeluargaan.

Sebagai siswa, tentu aku tidak melupakan tanggung jawab untuk belajar. Aku terus berusaha mendorong diriku meraih peringkat terbaik di kelas. Hal ini terbukti dengan pencapaianku menjadi juara 1 sejak kelas 1 SD hingga kelas 3 SMP.

Salah satu motivasiku datang dari latar belakang pendidikan orang tuaku yang merupakan lulusan universitas ternama. Itu menjadi semacam tekanan sekaligus motivasi.

Aku tidak menjadikannya sebagai ketakutan, justru sebagai dorongan untuk terus maju. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang mencoreng nama baik keluarga.

Aku menyadari bahwa rasa penasaranku tinggi. Selalu ada pertanyaan di benakku—tentang bagaimana dunia bekerja, tentang bagaimana aku bisa memberi kontribusi bermakna bagi lingkungan.

Rasa ingin tahu itu pula yang mengarahkanku pada passion-ku: menjadi seorang dokter. Sejak kecil, aku punya mimpi yang tak pernah berubah: menyematkan gelar “dr.” di depan namaku.

Dengan semua passion dan modal semangat yang kumiliki, aku mulai mencari SMA lanjutan yang bisa membantuku mewujudkan cita-cita itu. Di situlah aku menemukan Labschool Kebayoran.

Labschool Kebayoran adalah salah satu SMA terbaik di Indonesia, peringkat 6 secara nasional. Sekolah ini dikenal luas karena sejarah kelulusan siswanya ke berbagai PTN ternama—termasuk jurusan Pendidikan Dokter Universitas Indonesia, yang menjadi goal utamaku.

Jalan menuju Labsky tidaklah mudah. Banyak hal yang nyaris membuatku menyerah. Stigma bahwa siswa dari sekolah kabupaten sulit masuk ke sekolah-sekolah besar di Jakarta masih sangat terasa.

Namun, aku terus percaya pada diriku sendiri. Aku yakin aku pantas berada di Labsky. Hanya Labsky yang bisa mendukung prosesku meraih cita-cita, menyalurkan passion, dan mengembangkan potensiku.

Orang tuaku, terutama ibuku, selalu membimbing aku dan kakakku untuk memilih SMA dengan lulusan PTN terbanyak dan terbaik. Aku juga sempat mencoba masuk MAN Insan Cendekia, SMA Taruna Nusantara, dan SMA Pradipta Dirgantara. Nyatanya, rezekiku tidak di sana—melainkan di Labschool Kebayoran.

Mencari SMA itu seperti mencari jalan hidup: luas dan penuh tantangan. Kuncinya satu: percaya pada diri sendiri. Bahkan ketika ibuku bilang peluangku kecil karena berasal dari SMP negeri di kabupaten, aku tetap berusaha.

Aku sempat hampir menyerah. Patah hati? Sudah pasti. Pada akhirnya semua kembali ke pilihan kita: apakah kita mau berjuang atau berhenti.

Selama ini, siswa SMPN 2 Garut umumnya hanya melihat pilihan SMA di dalam kota. Padahal, dengan usaha yang sungguh-sungguh, peluang itu terbuka lebar—even from 214 kilometers away.

SMA di Garut tentu sangat bagus dan punya banyak keunggulan. Hal yang ingin aku soroti adalah: pilihan itu luas. Kita berhak bermimpi lebih jauh.

From my point of view, jika kita punya niat, usaha, dan keyakinan, maka jalan akan terbuka. Wawasan akan meluas. Kita akan menemukan versi terbaik dari diri kita sendiri.

Jangan dengarkan orang-orang yang berkata: “nggak mungkin”, “nggak cocok”, “nggak pantas”. Percayalah pada mimpi yang kamu perjuangkan.

Perjuangkan mimpi itu dengan sepenuh hati. Karena seperti kata ibuku, “Usaha tidak akan mengkhianati hasil.”

Untuk diriku di masa depan, aku harap aku benar-benar mendapatkan apa yang aku perjuangkan. Apakah itu gelar “dr.” di depan namaku? Atau gelar lain yang tak kalah mulia? Aku tidak tahu.

Aku yakin segala jalan yang kuambil akan mengarahkanku pada sesuatu yang positif dan terbaik untuk hidupku.

Maybe that’s all I can say (or should I say type?) about myself, my life, and my dreams. Semoga dari setiap paragraf dan kalimat yang kutulis ini, ada semangat yang bisa kalian bawa pulang.

Semoga ini bisa memotivasi kalian untuk terus berjuang dan memperluas cara pandang tentang bagaimana meraih cita-cita.

Thank you so much for reading this!

Toodles!

(Editor: Lupy)

Mungkin Anda Menyukai